Sejarah UGM
Gedung SMT Kotabaru, 24 Januari
1946, kelihatan dipenuhi pengunjung. Mereka adalah orang-orang yang memiliki
komitmen yang tinggi terhadap peningkatan martabat manusia Indonesia. Di antara
mereka teriihat Mr. Boediarto, Ir. Marsito, Prof. Dr. Prijono, Mr. Soenarjo,
Dr. Soleiman, Dr. Buntaran, Dr. Soeharto. Mereka bermaksud mendirikan Balai
Perguruan Tinggi Swasta di Yogyakarta.
Dalam pertemuan itu, Mr. Soenarjo,
menegaskan bahwa di Jakarta, NICA sudah mendirikan Universitas. Bangsa
Indonesia tidak boleh gagal mendirikan universitas. "Lebih- lebih
sekarang, pada waktu pembangunan, waktu kita butuhkan bermacam-macam ilmu
pengetahuan", tambah Mr. Soenarjo.
Pertemuan di atas diikuti oleh
beberapa pertemuan berikutnya, salah satunya adalah pertemuan di Gedung KNI
Malioboro, tanggal 3 Maret 1946. Dalam pertemuan ini, diumumkan berdirinya
Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada, yang terdiri atas Fakultas Hukum dan
Fakultas Kesusasteraan.
dalam pertemuan ini, diumumkan berdirinya Balai Perguruan
Tinggi Gadjah Mada, yang terdiri atas Fakultas Hukum dan Fakultas Kesusasteraan
Dengan berdirinya Balai Perguruan
Tinggi Gadjah Mada, maka pada tahun 1 946 terdapat dua perguruan tinggi di
Yogyakarta. Yang satu lagi adalah Sekolah Tinggi Teknik, yang berdiri tanggal
17 Februari 1946. Sekolah Tinggi Teknik ini merupakan usaha penghidupan kembali
Sekolah Tinggi Teknik Bandung, yang terpaksa ditutup karena suasana perang
antara Indonesia dan tentara sekutu di antara pemimpinnya, tersebutlah nama
Prof. Jr. Rooseno dan Prof. Ir. Wreksodhiningrat.itulah sebabnya mahasiswa
Fakultas Teknik Bandung dapat melanjutkan pendidikannya dan menempuh ujian
insinyur di Sekolah Tinggi Teknik Yogyakarta.
Setelah penyerbuan Belanda ke
Yogyakarta, 19 Desember 1948, kedua perguruan tinggi di atas terpaksa ditutup.
Para dosen dan mahasiswanya memilih berjuang menentang Belanda ketimbang
melanjutkan proses belajar-mengajar. Tetapi. peralatan kuliah tetap dipelihara
dengan baik oleh para mahasiswa.
Klaten sekarang tentu saja berbeda
dengan Klaten di tahun 1946. Perbedaan yang menyolok adalah soal pendidikan
tinggi. Kini Klaten tidak memiliki perguruan tinggi. Tetapi, Klaten tahun 1946
adalah kota pendidikan. disini berdiri, antara lain Perguruan Tinggi Kedokteran
(berdiri 5 Maret 1946), Sekolah Tinggi Kedokteran Hewan (berdiri 20 September 1
946), Sekolah Tinggi Farmasi (berdiri 27 September 1946), dan Pergurutan Tinggi
Pertanian (berdiri 27 September 1946).
Mengapa Klaten dipilih sebagai
tempat pendirian beberapa perguruan tinggi? Jawabnya. karena Klaten terletak di
pedalaman. Kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya tidak mungkin
lagi menyelenggarakan pendidikan tinggi. Sebab, ketiga kota tersebut sering
kali dibom oleh tentara sekutu. Para pejuang Indonesia di ketiga kota tersebut
tidak tinggal diam. Mereka juga balas menyerang sekutu. Akibatnya, ketiga kota
ini menjadi ajang pertempuran.
Alasan lain adalah, adanya
laboratorium pendukung dan lnstitut Pasteur. Laboratorium disediakan oleh Rumah
Sakit Tegalyoso. Sedangkan Institut Pasteur di Bandung, setelah diambil alih
oleh bangsa Indonesia dari tangan Jepang, 1 September 1945, dipindahkan ke
Klaten (Salah seorang yang ikut memindahkan institut ini adalah Prof. Dr. M,
Sardjito).
Kehidupan perguruan tinggi di Klaten
makin marak dengan berdirinya Fak. Kedokteran Gigi awal tahun 1948. Hal ini
berlangsung sampai 19 Desember 1948, saat Belanda menyerbu ke dalam daerah
Republik Indonesia.
Tujuh bulan sebelum penyerbuan
Belanda ke dalam Republik Indonesia, tepatnya awal Mei 1948, Kementerian
Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan sesungguhnya sudah mendirikan Akademi
Ilmu Politik di Yogyakarta. Akademi ini berdiri atas usul Kementerian Dalam
Negeri, yaitu untuk mendidik calon-calon pegawai Departemen Dalam Negeri,
Departemen Luar Negeri dan Dep. Penerangan.
Pada saat berdiri, Akademi Ilmu
Politik ini dipimpin oleh Prof. Djokosoetono, S.H. Beberapa pegawai Dep. Dalam
Negeri yang belajar di sini, antara lain: Djumadi lsworo, Soempono Djojowadono,
Irnan Soetikno, Bambang Soegeng Wardi dan Dradjat. Sayang, umur akademi ini
tidak lama. Setelah pemberontakan PKI Madiun meletus, September 1948, akademi
ini ditinggalkan para mahasiswanya. Mereka ikut menumpas pemberontakan dan membangun
kembali kerusakan-kerusakan yang terjadi. Maka akademi ini pun terpaksa
ditutup.
Kalau di atas di ceritakan bahwa
perguruan-perguruan tinggi yang terpaksa ditutup di Klaten dan Yogyakarta
adalah perguruan tinggi yang sudah beroperasi, di Solo ada perguruan tinggi
yang sudah dibuka terpaksa batal diresmikan. Yakni: Balai Pendidikan Ahli
Hukum. Perguruan tinggi ini berdiri 1 November 1948, sebagai hasil kerja sama
Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan dengan Kementerian Kehakiman.
Bersamaan dengan itu, Panitia Pendirian Perguruan Tinggi
Swasta di Solo, yang dipimpin oleh Drs. Notonagoro, S.H., Koesoemadi, S.H. dan
Hardjono, S.H., juga merencanakan pendirian Sekolah Tinggi Hukum Negeri
Bersamaan dengan itu, Panitia
Pendirian Perguruan Tinggi Swasta di Solo, yang dipimpin oleh Drs. Notonagoro,
S.H., Koesoemadi, S.H. dan Hardjono, S.H., juga merencanakan pendirian Sekolah
Tinggi Hukum Negeri. Panitia ini menyarankan agar Balai Pendidikan Ahli Hukum
digabungkan saja dengan Sekolah Tinggi Hukum Negeri. Paling tidak untuk
melakukan efisiensi. Usul ini, rupanya, diterima pemerintah. Buktinva,
Peraturan Pemerintah No. 73 tahun 1948 menyebutkan bahwa Balai Pendidikan Ahli
Hukum digabungkan ke dalam Sekolah Tinggi Hukum Negeri.
Menurut Prof. Dr. M. Sardjito,
Sekolah Tinggi Hukum Negeri Solo ini akan diresmikan tanggal 28 Desember 1948.
Tetapi, sembilan hari sebelum peresmian, Belanda sudah menyerbu ke wilayah
Republik Indonesia. Apa boleh buat, perjuangan menentang Belanda menjadi
prioritas. Akibatnya, sekolah tinggi ini layu sebelum menguntum dan terpaksa
bubar sebelum diresmikan.
Tidak banyak yang ingat kapan
persisnya timbul ide untuk menggabungkan beberapa perguruan tinggi perjuangan
(Sebutan ini, diberikan oleh Prof. Ir. Herman Johannes) tersebut di atas
menjadi sebuah perguruan tinggi. Tetapi, menurut Prof. Dr. M. Sardjito, tanggal
20 Mei 1949, ada rapat Panitia Perguruan Tinggi, di Pendopo Kepatihan
Yogyakarta. Rapat ini dipimpin oleh Prof. Dr. Soetopo, dengan anggota rapat
antara lain, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Prof. Dr. M. Sardjito, Prof. Dr.
Prijono, Prof. Ir. Wreksodhiningrat, Prof. Ir. Harjono, Prof. Sugardo dan
Slamet Soetikno, S.H. Salah satu hasil rapat adalah: beberapa anggota rapat
menyanggupi pendirian perguruan kembali di wilayah republik, yaitu Yogyakarta.
Mereka yang bersedia adalah Prof. Ir. Wreksodhiningrat, Prof. Dr. Prijono,
Prof. Ir. Harjono dan Prof. Dr. M. Sardjito.
Kesulitan utama yang ditemui para
Guru Besar tersest di atas dalam mendirikan kembali perguruan tinggi di Yogya
adalah tidak adanya ruangan untuk kuliah. Untunglah Sultan Hamengku Buwono IX
bersedia meminjamkan kraton dan beberapa gedung di sekitar kraton untuk ruangan
kuliah. Masalah utama pun terpecahkan. Setelah itu persiapan lain pun
dimatangkan.
Usaha keras para Guru Besar tersebut
akhirnya membuahkan hasil. Tanggal 1 November 1949, di Kompleks Peguruan Tinggi
Kadipaten, Yogyakarta, berdiri kembali Fakultas Kedokteran Gigi dan Farmasi,
Fakultas Pertanian., dan Fakultas Kedokteran. Pembukaan ketiga fakultas ini
dihadiri oleh Bung Karno. Pada pembukaan ini, menurut Prof. Dr. M. Sardjito,
diadakan sebuah renungan bagi para dosen dan mahasiswa yang telah gugur dalam
peperangan melawan Belanda, yaitu: Prof. Dr. Abdulrachman Saleh, Ir.
Notokoesoemo, Roewito, Asmono, Hardjito dan Wurjanto.
Keesokan harinya, 2 November 1949,
giliran FakultasTeknik, Akademi Ilmu Politik dan beberapa fakultas yang berada
di bawah naungan Yayasan Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada yang diresmikan.
Kota Yogyakarta pun kembali marak dengan mahasiswa.
Keesokan harinya, 2 November 1949, giliran FakultasTeknik,
Akademi Ilmu Politik dan beberapa fakultas yang berada di bawah naungan Yayasan
Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada yang diresmikan.
Sebulan kemudian, tepatnya 3
Desember 1949, dibuka pula Fakultas Hukum di Yogyakarta. Fakultas ini merupakan
pindahan Sekolah Tinggi Hukum Negeri Solo. Orang yang berjasa dalam pemindahan
ini adalah Prof. Drs. Notonagoro, S.H.
Tidak mudah mencari informasi
mengapa pada tanggal 2 November 1949 tidak langsung didirikan sebuah
universitas yang bisa menaungi 3 fakultas yang berdiri pada saat itu. Di
samping orang-orang yang terlibat dengan pendiriannya sudah meninggal dunia,
dokumentasi yang dimiliki Universitas Gadjah Mada (UGM) tidak pernah menyinggung
hal tersebut. Adalah wajar kalau kemudian perlu disarankan kepada UGM untuk
mencari alasan tersebut. Paling tidak untuk menyempurnakan riwayat pendirian
Universitas Gadjah Mada.
Tetapi, beroperasinya kembali 8
fakultas tersebut di atas sejak 1 November 1949, mendorong lahirnya UGM, 19
Desember 1949. Tanggal ini dipilih, seperti disebut Bung Karno. adalah untuk
memperlihatkan kepada dunia luar bahwa Bangsa Indonesia sanggup bangkit,
meskipun sudah diserang habis-habisan oleh Belanda, 19 Desember 1948, dengan
kata lain tanggal 19 Desember 1949 dipilih untuk menghilangkan noda 19 Desember
1948.
Pada saat berdirinya, menurut
Peraturan Pcmerintah No. 23 Tahun 1949, UGM memiliki enam fakultas, yaitu: (1)
Fakultas Teknik (di dalamnya termasuk Akademi Ilmu Ukur dan Akademi Pendidikan
Guru Bagian Ilmu Alam dan Ilmu Pasti) ; (2) Fakultas Kedokteran di dalamnya
termasuk bagian Farmasi, bagian Kedokteran Gigi dan Akademi Pendidikan Guru
bagian Kimia dan limu Hayat; (3) Fakultas Pertanian di dalamya ada Akademi
Pertanian dan Kehutanan; (4) Fakultas Kedokteran Hewan; (5) Fakultas Hukum di
dalamnya ada Akademi Keahlian Hukum, Keahlian Ekonomi dan Notariat, Akademi
Ilmu Politik dan Akademi Pendidikan Guru Bagian Tatanegara, Ekonomi dan
Sosiologi; dan (6) Fakultas Sastra dan Filsafat di dalamnya ada Akademi
Pendidikan Guru bagian Sastra.
Pada saat peresmian berdirinya UGM,
Prof. Dr. M. Sardi . ito ditetapkan sebagai Presiden UGM. Pada saat yang sama
juga ditetapkan Senat UGM dan Dewan Kurator UGM. Mengenai yang terakhir ini,
kepengurusannya terdiri dari ketua (Ketua Kehormatan adalah Sultan Hamengku
Buwono IX, sedangkan Ketua adalah Sri Paku Alam VIII, wakil ketua dan anggota.
Ini menimbulkan pendapat bahwa ketika UGM lahir, ia memang telah siap untuk
meneruskan perjuangan, yaitu meningkatkan martabat manusia Indonesia.
Dari rentetan riwayat perjuangan
mendirikan UGM di atas, tidak berlebihan rasanya bila disimpulkan bahwa
pendirian UGM adalah usaha untuk meneruskan perjuangan. Ini perlu menjadi
pegangan bagi seluruh sivitas akademika UGM
Sumber:
"Riwajat Perdjuangan Mendirikan Universitas Gadjah Mada dan Sekedar Tentang Perguruan Tinggi lain di Inonesia " oleh Prof. Dr. M. Sardjito, "Perdjuangan Universitas Gadjah Mada dan Perguruan Tinggi Lain Dalam Revolusi Fisik"oleh Pro.f Ir. Herman Johannes, "Buku Kenangan Seperempat Abad Univervitas Gadjah Mada 11 vang diredakturi oleh Drs. H. Nangtjik dan Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 1949.
"Riwajat Perdjuangan Mendirikan Universitas Gadjah Mada dan Sekedar Tentang Perguruan Tinggi lain di Inonesia " oleh Prof. Dr. M. Sardjito, "Perdjuangan Universitas Gadjah Mada dan Perguruan Tinggi Lain Dalam Revolusi Fisik"oleh Pro.f Ir. Herman Johannes, "Buku Kenangan Seperempat Abad Univervitas Gadjah Mada 11 vang diredakturi oleh Drs. H. Nangtjik dan Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 1949.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar